Beban

13/11/2010 12:08

Tak ada yang aneh untuk profesinya sebagai pemulung.  Kemana pun ia pergi, dan kepada siapa pun ia berjumpa, selalu saja di pundaknya terpikul sebuah keranjang besar.

Di keranjang itulah, apa saja yang ia temui, dan barang apa pun yang dibuang  orang yang ia jumpai, selalu ia masukkan kedalamnya.

Seorang pekerja bangunan  tampak terheran-heran ketika ia mendapati sang pemulung mengambil sisa-sisa besi dan pralon yang patah. ”Untuk apa barang  tak terpakai itu?” tanya pekerja bangunan ketika mendapati sang pemulung memasukkannya kedalam keranjang khasnya.

”Tidak untuk apa-apa. Aku senang saja,” ucap sang pemulung sambil berlalu meninggalkan pekerja bangunan yang keheranan.

Begitu pun ketika pemulung berkeranjang itu mendapati seorang ibu rumah tangga yg sedang membuang sampah. ”Hei, untuk apa kau masukkan kulit yang tak terpakai itu kedalam keranjangmu?” tanya sang Ibu heran.

Lagi-lagi, sang pemulung santai saja menjawab, ”Aku cuma senang saja.”

Kian hari, isi keranjang sang pemulung mulai tampak penuh. Hampir semua orang yang melihatnya tampak kasihan dengan pemulung itu karena beban yang ia pikul kemana pun sang pemulung pergi.

Dan, mereka tidak akan bertanya kenapa itu dilakukan sang pemulung. Karena, jawabannya sudah bisa ditebak, ”Aku senang saja!”

**

Tanpa disadari, kerap orang sering merasa senang memikul beban jiwa yang semestinya tidak perlu ia pikul. Ketika orang membuang marah, ia ambil. Ketika orang melepas benci, ia simpan. Ketika orang melempar iri, ia pun mengambilnya untuk disimpan.

Padahal, tanpa mengumpulkan beban-beban yang merupakan sampah jiwa itu pun, ia sudah punya beban tersendiri. Kenapa begitu sulit melepas gundukan beban kotor dan busuk itu dalam diri, untuk kemudian menunaikan amanah hidup yang sudah berat ini.

Atau barangkali, jangan-jangan jiwa ini sudah seperti pemulung yang selalu punya jawaban sederhana, ”Ah, aku cuma senang aja!” ( dari berbagai sumber)